Mapala sebuah kata yang mungkin
tak pernah asing terngiang ditelinga kita selaku mahasiswa dengan berbagai
plesetan yang sering kita dengar, mapala “ mahasiswa paling lama”, atau yang
lagi ngetrend sekarang mama papa larang. Ya..sebuah kata yang simpel namun bagi
rekan – rekan pecinta alam dan penggiat di alam bebas, mapala adalah sebuah
organisasi yang bernaung para pecinta alam dalam tataran kampus.
Gerakan mapala dimulai dengan
tonggak berdirinya berawal dari universitas Indonesia dengan latar belakang
kejenuhan para mahasiswa ditahun 60-an dengan kondisi politik indonesia yang
mulai bangkit pasca kemerdekaan. Proklamator berdirinya gerakan ini “Soe Hoek
Gie” seorang mahasiswa cerdas dan kritis
yang mulai menggandrungi kegiatan ini dengan rasa penasarannya mendaki berbagai
puncak terutama puncak Gede –Pangrango menjadi salah satu puncak favoritnya
yang ia lukiskan melalui sebuah puisi di alun- alun surya kencana, namun sayang
Gie panggilannya harus mati muda di puncak Mahameru dimana diperkirakan dia
keracunan dipuncak abadi para dewa tersebut.
Judul diatas, mungkin akan
menjadi hal lucu dan tak asing pula, sebuah jargon yang tak asing, sebuah
jargon yang sering kita dengar ketika proses pilpres berlangsung beberapa bulan
lalu. Jargon yang diusung oleh jokowi ( yang merupakan salah satu anak mapala
Fak Kehutanan UGM), dan akhirnya Jokowi juga menjadi presiden RI ke-7. Nah,
sepertinya melihat kondisi real yang sedang melanda dunia petualangan khususnya
kondisi anak anak mapala di Aceh dan tentunya tulisan ini lebih cenderung untuk
menelaah bagaimana kondisi real dan posisi strategis Alaska dalam dunia
petualangan. Tampa menafikan bahwa jiwa- jiwa petualang yang masih ada namun
masih bersemayam dalam jiwa- jiwa para pecinta alam khususnya alaska.
Alaska dengan posisi sebagai
organisasi di dalam kampus Universitas Almuslim, sebuah kampus yang terletak di
kecamatan, yang mungkin secara jaringan baik secara nasional masih belum
maksimal walaupun secara daerah, alaska sudah mulai dikenal melalui kegiatan
petualangannya. Tingkat perkembangan modernisasi yang semakin kompleks juga
ikut merambah dunia petualangan seperti media sosial yang mungkin semua orang
pasti memilikinya. Media sosial seharusnya mejadi media yang baik bagi
peningkatan wawasan dan ilmu pengetahuan namun justeru menjadi tempat curhatan
dengan berbagai kosa kata yang mungkin lucu, sedih dan ngawur. Anak mapala kok
galau,,,itu kata-kata yang keluar dari salah seorang senior mapala ketika ikut serta
dalam acara Temu Wicara Pecinta Alam beberapa waktu yang lalu. Kondisi real
dunia petualangan yang semakin hari semakin hilang dalam jiwa- jiwa petualang.
Hanya satu kata “ Back To Nature”...hanya kata itu,artinya dunia anak anak
mapala adalah dunia petualangan, dunia yang dipenuhi rasa cinta, ya cinta untuk
alam ini tentunya sekaligus rasa cinta kepada sang Khalik..dunia yang juga
dipenuhi rasa tanggung jawab yang besar. Ingat kita punya karakter dan karakter
itu jangan sampai kita pendam dan kita bunuh dengan mengatasnamakan modernisasi.
Ditulis oleh Bg dipa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar